Senin, 13 Juni 2011

Tamparan Keras Untuk Bangsa Indonesia

   Sebenarnya kisah ini sudah lama terjadi di jakarta, tetapi sangat baik untuk menjadi bahan renungan bagi kita semua. Cerita ini adalah Tamparan Keras untuk bangsa Indonesia....



   Sebenarnya sudah banyak sekali cerita ini di blog2 di Indonesia, tetapi cerita ini sangat mengharukan dan harus menjadikan kita lebih peduli lagi dengan sesama manusia. ini adalah berita yang saya copas langsung dari kaskus.us.

   PEJABAT Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah. Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta – Bogor pun geger Minggu (5/6).
 Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL.
  Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.
 Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. “Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari,” ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu. Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

 Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampung pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung..

   Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet. Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan
terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.
  Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan. Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang
terbujur kaku.
 Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.
   Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi
perduli terhadap sesama. “Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia,” ujarnya.
   Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz, mengatakan peristiwa itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin kata Wardah.

ane miris gan bacanya.

   Itu adalah berita dari kaskus.us, trus pertanyaannya...
1. kapan peristiwa itu terjadi ?
2. kemana ibunya Khaerunisa ?
3. dimana jenazah Khaerunisa di makamkan ?
4. dimana sekarang Supriono berada ?
5. dimana campur tangan pemerintah untuk kasus seperti ini ?

   Dari search kesana kemari plus nanya2 sama om google. akhirnya saya mendapatkan beberapa jawaban dari pertanyaan diatas.
1.Kisah tragis ini ternyata banyak dimuat di media2 ibukota, salah satunya warta kota, dimuat di edisi senin 6 juni 2005. jadi kemungkinan besar terjadi di awal juni 2005.

2. Saat membaca berita diatas saya bertanya kemana sang ibu saat anaknya membutuhkan pertolongannya. ternyata saya mendapati kalau sang ibu sudah bercerai dengan Supriono. jadi wanita ini tidak ada saat kejadian dan sampai sekarang keberadaannya tidak diketahui.
3. Saat Supriono pulang menggendong anaknya sebetulnya ada Ambulance yang menawarkan jasa mengantarnya. tetapi saat dibilang tidak punya uang, supir ambulance itu langsung tancap gas. berbekal uang yang diberikan oleh orang2 sekitar RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Salemba, Jakpus), Supriono membawa jenazah anaknya menggunakan bajaj, ke rumah ibu Sri di kawasan Manggarai Utara VI, dulu supriono pernah mengontrak disini.
   Semua  biaya pemakaman Nisa, mulai dari biaya kafan dan tetek-bengek lain sebesar Rp 250.000 sampai biaya kepada Dinas Pemakaman Rp 350.000, berasal dari patungan warga RT08/RW01, Manggarai Utara VI yang jatuh empati kepada Supri. dan akhirnya, Tempat Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo Blok A5, Casablanca, Jaksel, menjadi peristirahatan terakhir buat Nisa kecil.

4. Pria kelahiran Gunung Talang, Solok, Sumatera Barat, itu mengaku akan meninggalkan pekerjaan lama sebagai pemulung dan memulai hidup baru di Bogor sebagai pedagang pakaian, termasuk menyekolahkan Muriski Saleh. Berkat pemberitaan gencar dari berbagai media, supriono mendapat sumbangan uang hampir 50 jt. Belakangan, ada kabar teranyar yang diwartakan Warta Kota (24/6), Supriono akan menggeluti profesi sebagai penjual mie.

5. Dipertanyaan yang ini lah saya belum mendapatkan jawabannya ^^, di UUD 45 pasal 33 tertulis jelas "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara".
Tapi dimana kenyataannya ? sampai sekarang sepertinya belum ada realisasinya.
Dimanakah sebenarnya para penguasa negeri ini ?,
dimanakah para politikus yang ketika masa kampanye caleg pilpres, pilgub, pilbup, pilwali dan pil-pil lainnya mengobral janji akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya.

Kalau sudah ada kejadian seperti ini siapa yang disalahkan?


salam


sumber,
http://www.kaskus.us
http://www.beritaindonesia.co.id
http://ibadahonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copas dipersilahkan tetapi harus disertai sumber, dan isi komentar anda untuk evaluasi blog ini. Komentar yang bersifat S.A.R.A tidak saya perkenankan